Selasa, 11 Mei 2010
SALURAN KOMUNIKASI POLITIK
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.1 Namun dalam uraian hal ini penulis ingin menaganlisis proses komunikasi politik dilihat dari salurannya komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi interpersonal.
Saluran-saluran komunikasi politik
Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan. Pesan di sini bisa dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Atau bisa pula dengan melakukan kombinasi lambang hingga menghasilkan cerita, foto (still picture atau motion picture), juga pementasan drama. Alat yang dimaksud di sini tidak hanya berbicara sebatas pada media mekanis, teknik, dan sarana untuk saling bertukar lambang, namun manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi.
A.KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi Massa adalah proses komunikasi yang dolakukan melalui media massa dengan bebagai tujuan komuniakasi dan untuk menyampaikan informasi kepada kahalayak luas.2
Dalam konteks politik modern, media massa menempati posisi strategis baik untuk upaya penyebarluasan informasi maupun menumbuhkan citra. Karena itu, komunikasi politik modern pada dasarnya adalah komunikasi politik melalui media massa dan/atau media baru, termasuk internet. Tidak terkecuali dalam kaitan dengan pemilihan. Karena itu, Komunikais Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan mengambil titik berat pada persoalan keberadaan media massa dalam konteks politik secara umum, dan pemilihan secara lebih khusus. Khusus dalam konteks pemilihan, termasuk pemilihan anggota legislative maupun pemilihan pejabat eksekutif (presiden dan kepala daerah, gubernur maupun bupati dan walikota), terlihat jelas, bahwa kampanye diupayakan dengan menggunakan berbagai teknik pemasaran politik (political marketing).
Charles Wright berargumentasi bahwa media massa menyajikan jenis khusus komunikasi yang melibatkan tiga perangkat kondisi khusus; sifat khalayak, pengalaman komunikasi, komunikator. Perspektif ke depan, kajian komunikasi politik akan semakin diwarnai pilihan fokus pada penggunaan, serta pengaruh media baru terutama internet dan telepon seluler dalam kehidupan politik. Disamping itu, minat terhadap penggunaan, peran dan pengaruh media lama seperti televisi dan surat kabar/ majalah masih kuat.
Dalam mengemabngkan teori tentang dampak social komuniakasi massa, Innis berfokus pada dua saluran komunikasi utama, yakni komunikasi lisan dan komunikasi tertulis. Masing-masing menghsilkan tipe budaya yang sangat berbeda. Budaya lisan diatur oleh tradisi, golongan elite, dan orang tua suku; budaya ini adalah budaya dengan bias waktu karena komunikasi lisan menyampaiakan pesan-pesan dengan lambat, menempuh jarak yang dekat saja (jalak dibatasi oleh kemampuan manusia saja). Sebaliknya, budaya tertulis menunjukan pesan yang jauh lebih cepat dan lebih luas.3
“Selain hal ini, keterkaitan media massa dan media baru dalam kajian komunikasi politik, tampaknya juga semakin bervariasi. Termasuk misalnya pemilihan umum, pembangunan demokrasi, konflik dan integrasi, aksi-aksi protes atau demonstrasi, sosialisasi serta partisipasi politik”,4. dengan semakin berkembangnya kecenderungan minat terhadap persoalan pluralisme dan multikulturalisme, maka disiplin komunikasi politik komunikasi politik yang bersifat interdisipliner akan semakin akrab dengan sosiologi, antropologi dan seni. Namun, perkembangan studi komunikasi politik telah ditandai bervariasinya pendekatan-pendekatan teoritik. Perkembangan lebih baru mengenai relaitas komunikasi politik di Indonesia lebih menunjukkan penggunaan saluran komunikasi politik yang bervariasi, termasuk media massa, internet, dan telepon seluler prganisasi/ institusi, kelompok dan saluran-saluran khusus untuk agregasi dan artikulasi kepentingan.
Beberapa bahwa media massa itu berfungsi sebagai berikut :5
1.untuk menyebarluaskan informasi seputar
a.Kebijaksanaan pemerintah.
b.Program-program untuk mensejahterakan rakyat.
c.Kondisi politik dalam negeri.
d.Aktivitas jalinan komunikasi dengan Negara-negara lain sebagai kebijaksanaan politik luar negeri.
2.Untuk membentuk karakter bangsa melalui fungsi pendidikan.
3.Untuk melakukan fungsi sosialisasi dalam kaitan pelestarian sistem politik (sekaligus sistem nilai).
4.Menumbuhkan kepercayaan Negara lain melalui sajian-sajian berita yang direncanakan dan ditata secara baik, (sebagai alat promosi atau propaganda). Sedang dimensi bagi masyarakat, media massa berfungsi sebagai sarana kontrol sosial terhadap kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah.
Perlu diketahui bahwa Kekuatan media massa (powerful media) sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak, telah banyak memberikan andil dalam pembentukan opini public. Kemampuannya dalam mempengaruhi khalayak perlu kehatia-hatian bagi mereka yang bergelut dengan politik sebaba dampak yang ditimbulkan oleh media massa adalah keritisnya masyarakat dalam menentukan sikapa sebagai komunikan politik dalam menerima setiap pesan yang disampaikan, daya selektif yang menjadikan berubahnya perilaku pemilih. Maka, perlu pengawasan khusus bagi mereka yang ingin meduduki kursi dengan memafaat media dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menunbuhkan citra terhadapa pandangan masyarakat dengan menggunankan media dalam bentu apapun adalah saluran komunikasi dalam berkampanye atau berpolitik.
Ada berbagai bentuk dari komunikasi dengan media massa baik visual, audio, maupun audio-visual sekalipun.
Menurut McLuhan, terdapat resonansi antara radio dan telinga serta pikiran manusia, resonansi yang menyajikan peluang besar bagi kampanye radio. Di samping itu, radio juga merupakan saluran massa bagi kaum minoritas walaupun dalam perkembangannya kaum mayoritas pun masih belum bisa meninggalkannya.Meskipun radio tidak menampilkan visual/gambar hidup, namun media satu ini bisa merambah ke lokasi di mana media lain susah bahkan tak bisa menjangkaunya.
Media Televisi, Di Amerika, penggunaan televisi sebagai media kampanye sudah sejak dasawarsa 1950-an dan 1960-an dimulai. Penekanan dalam kampanyenya pun beragam, mulai dari pembuatan citra; di mana penggunaan media ini untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Hingga penekanan berkembang pada tahun 1970-an menjadi pengaturan dan pembahasan pokok masalah kampanye. Teknik untuk membangun citra sang kandidat pun beragam dari melalui publisitas gratis hingga pada beriklan di televisi yang mesti bayar. Sebenarnya sudah ada pengaturan tentang tata cara beriklan di media massa, terutama di televisi. Namun tetap saja banyak terjadi kecurangan di sana-sini, hingga terjadi ketidakadilan dalam peliputan berita kampanye pada Pilpres 2009 yang lalu. Peliputan berita kampanye pasangan kandidat tertentu mendapat durasi yang relatif lebih panjang dibanding pasangan kandidat yang lainnya. Hal ini dikarenakan pemilik stasiun televisi tersebut adalah “orang dekat” dari pasangan tersebut. Atau bisa juga karena pasangan kandidat tersebut memiliki dana kampanye yang cukup banyak untuk dapat memasang iklan berlebih pada media tersebut.6
Media Cetak, Meskipun media elektronik ditambah dengan media inovasi sudah semakin maju, tetap saja media cetak belum akan ditinggalkan khalayak masa Terdapat dua tipe media cetak yang kerap dijadikan sebagai media kampanye, yakni melalui surat langsung dan surat kabar atau majalah Surat Langsung. Pada tahun 1974, Robin dan Miller memeriksa pengaruh pengiriman surat umum kepada 72.000 orang pada tahun 1974. Mereka menemukan bahwa surat langsung tidak memiliki cukup pengaruh terhadap tingkat informasi pemilih, pandangan kandidat, tujuan memberikan suara dalam pemilihan, atau pemilihan kandidat.
Ketika McLuhan menagacupada televise sebagai media yang dingin, bukan yang panas, ia mengatakan bahwa orang tidak hanya menonton televise, tetapi ia terlibat didalamnya. Televise adalah media yang informasinya rendah, televise hanya menayangkan impuls elektronik kepada penontonnya harus menafsirkan, menemukan pola, dan membuat impuls-impuls itu bermakna. Media yang panas memaksakan makna kepada pembaca dan pendengar (media cetak atau radio) media yang dingin membebaskan pemirsa dari pola yang dipaksakan.
B.KOMUNIKASI ORGANISASI
Jaringan komunikasi dari organisasi menggabungkan sifat-sifat saluran massa dan saluran interpersonal. Tentu saja ada jenis-jenis organisasi yang sangat berbeda dalam politik, baik formal maupun informal. Yang dimaksud kelompok informal adalah keluarga seseorang, kelompok sebaya, dan rekan kerja yang kesemuanya memainkan peran penting dalam mengembangkan opini politik orang itu. Sedangkan kelompok formal meliputi partai politik dan berbagai organisasi kepentingan khusus, seperti serikat buruh, asosiasi perusahaan, pembela konsumen, organisasi hak sipil, dan koalisi kebebasan wanita.
Dilihat dari teori komunikasi organisasi bahwa komunikasi itu sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan makna.7
Tindak komunikasi tersebut dapat dilakukan dengan bergam konteks, antara lain adalah dalam linkup organisasi (organizational communication). Dalam konteks organisasi, pemahaman mengenai peristiwa-peritiwa komunikasi yang terjadi didalammnya, seperti apakah intruksi pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan atupun bagaimana bawahan mencoba menyamopaikan keluhan pada atasan, memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapakan.
Dari pernyatan diatas merupakan komunikasi organisasi secara umum. Namun dalam konteks politik komunikasi organisasi itu memiliki dua tipe saluran umum dalam komunikasi. Yang satu memudahkan komunikasi intern. Proses komunikasi birokratik internal ini memiliki tiga aspek.
a.orang-orang harus memilki infornmasi sebagai dasar untuk membuat keputusan
b.putusan dan dasar alasannya harus disebarkan agar anggota-anggota organisasi itu melaksanakan
c.ada saluran-saluran untuk “pembicaraan keorganisasian”, percakapan sehari-hari yang biasa dalam menjalankan pekerjaan, dan pembicaraan yang dilakukan oleh anggota-anggota dalam melaksanakan tugas setiap hari menciptakan keanggotaan yang yang bermakna dalam tatanan social yang sedang berlangsung. (dalam Dan Nimmo)
Dalam saluran Internal. Terdapat saluran formal dan informal dalam kombinasinnya, berencana dan tidak berencana menghasilkan keadaan yang meragukan, bukan memajukan rasionalitas, efisiensi, dan keahlian organisasi. Dalam organisasi muncul pemimpin simbolik yang tujuannya tidak selalu sesuai dengan tujuan pemimpin tugas yang ditunjuk oleh organisasi. Pembicaraan pengaruh menggantikan pembicaraan autoritas dan kekuasaan, persuasi retois penting untuk menyelesaikan pekerjaan dan kecermatan saluran-saluran organisasi semakin menjadi masalah karena informasi secar formal dan informal, bersimpang siur melalui banyak pejabat.
Saluran Eksternal katz dan Danet bahwa komunikasi eksternal organisasi yang besar dan rumitpun melibatkan orang-orang (pejabat dan klien) yang menegosiasikan hasil-hasil tertentu. Dalam proses itu mereka memperhitungkan berbagai hal sepertin tekanan, fakta yang dipersepsi, aturan, dan prasangka.
Proses penyusunan makna berhubungan dengan makna yang menonjol pada bentuk organisasi social (seperti dikemukakan oleh Harold Innis), persepsi individu, citra yang dirumuskan, bagaimana kita saling mendekati, mengidentifikasi citra diri kita, dan memuaskan diri kemanusiaan. Maka pada intinya bahwa saluran komunikasi organisasi politik itu bagaimana mencari ketertiban social.
Teori Perseptual
Bagi McLuhan, setiap media komunikasi mempunyai gramatika. Gramatika adalah aturan kerja yang erat hubungannya dengan gabungan indera (penglihatan, sentuhan, suara, penciuman, dan lain sebagainya) yang berkaitan dengan penggunaan media oleh seseorang. Atau bisa dikatakan media merupakan perpanjangan dari indera manusia: bicara sebagai panjangan indera untuk suara, cetakan merupakan perpanjangan dari indera untuk penglihatan, dan media elektronik tertentu –terutama televisi– adalah perpanjangan indera peraba (perasaan, sentuhan, sistem saraf).
McLuhan berargumentasi, dikarenakan setiap media dibiaskan terhadap indera tertentu dan penggunaannya menghasilkan pengandalan yang berlebihan dalam keseluruhan pola indera manusia, maka hal ini akan mengakibatkan media mempunyai akibat yang sangat kuat terhadap masing-masing penggunanya. Dalam budaya lisan, medianya adalah bicara dan bias terhadap suara. Hasilnya adalah budaya keakraban sosial. Kemudian datang budaya cetak yang memaksa tatanan konseptual-perseptual yang berbeda; dalam tatanan itu orang-orang datang mengharapkan, mencari, dan menuntut linearitas, yaitu keteraturan, koordinasi, dan ketertiban. Sebuah budaya yang sangat mengindividualkan; membaca dan menulis serta menerbitkan. Akibat politiknya adalah suatu sistem demokrasi individual yang menekankan kemampuan pribadi dan titik pandang warga Negara perseorangan yang mengambil bagian dalam proses yang tampaknya dapat dipengaruhi dengan cara yang tertib.
Sedangkan media televisi dalam pandangan McLuhan berkaitan dengan demokrasi kolektif. Ia beralasan, bahwa orang tidak hanya menonton televisi, akan tetapi turut pula terlibat di dalamnya. Televisi merupakan media yang informasinya rendah: hanya menayangkan implus elektronik kepada penontonnya; penonton dibebaskan untuk menafsirkan, menentukan pola, dan membuat implus-implus itu bermakna. Sedangkan media lisan dan tulisan (radio dan media cetak) memaksakan makna terhadap pembaca dan pendengarnya.
Teori Fungsional
Fokus dari teori fungsional ini adalah mengamati berbagai jenis fungsi media bagi pembaca, pendengar, dan penonton. Teori inilah yang nantinya akan menyadarkan kita, bahwasanya media massa turut pula berperan dalam berbagai dampak politik, semisal mengubah pemberian suara, tingkat dukungan publik terhadap kebijakan, dan mampu menambah informasi yang dimiliki rakyat tentang politik. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati varian dari teori fungsional yang diantaranya adalah:
Teori Persuasi dan Informasi/Penyebaran
Teori ini mengungkap berbagai kemungkinan tentang keinginan orang yang menggunakan media massa untuk menambah khazanah pengetahuannya (informasi) dan atau mendapatkan bimbingan (opini). Dipandang dari fungsi ini, media massa mendifusikan informasi dan mempersuasi.
Dalam teori informasi, komunikasi massa terdiri atas serangkaian sistem yang menyampaikan informasi dengan cara bersambung dan berurutan (1) dari sebuah sumber, (2) melalui penyandi yang menerjemahkan unsur-unsur pesan ke dalam serangkaian tanda ke dalam implus elektronik, (3) melalui sebuah saluran, (4) melalui penyandi balik, dan (5) kepada penerima. Teori ini menetapkan informasi menurut kemampuannya mengurangi ketakpastian atau keteraturan situasi pada penerima.
Teori Permainan
Teori permainan seperti yang dirumuskan oleh psikolog William Stephenson, berargumentasi bahwa kita berkomunikasi hanyalah demi kesenangan yang kita peroleh dari tindakan itu sendiri. Permainan adalah kegiatan yang dilakukan orang untuk kesenangan, bukan untuk menyelesaikan sesuatu seperti bererja. Teori ini diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, kegembiraan yang diperoleh orang dari mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan dalam membaca komik atau kolom tulisan Ann Landers. Berbeda dengan teori informasi yang dilukiskan Stephenson sebagai derita berkomunikasi, berkomunikasi agar lebih berpengetahuan, berpendidikan, untuk memecahkan masalah, dan lain sebagainya.
Teori Parasosial
Kelompok lain perumus teori berargumentasi bahwa komunikasi massa berfungsi memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hal ini tercapai jika media massa memberi peluang bagi hubungan tatap muka tanpa terjadinya hubungan langsung. Secara khas para anggota khalayak radio, televisi, atau film berhubungan dengan tokoh di dalam media massa itu seakan-akan tokoh tersebut hadir di dalam lingkungan sosial mereka.
Banyak dari format ini yang digunakan oleh para komunikator politik untuk membangun jembatan parasosial yang menghubungkan pemimpin dan pengikutnya. Banyak usaha hubungan masyarakat dari kepentingan terorganisasi yang menempatkan juru bicara mereka dalam pertunjukan bicara yang popular dengan harapan mengidentifikasi pemimpin acara pertunjukkan dengan tujuan-tujuan seperti pelestarian lingkungan, reformasi penjara, boikot konsumen, penghentian pembangunan pembangkit tenaga nuklir, dan lain sebagainya.
C.KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Komunikasi interpersonal merupakan bentukan hubungan satu-kepada-satu; terdiri atas saling tukar kata lisan di antara dua orang atau lebih. Saluran ini bisa berbentuk tatap muka maupun berperantara.
Beberapa teoritisi dan ilmuwan komunikasi seperti: Joseph Klapper, Elihu Katz, Paul Lazarfeld, dan Ithil de La Solapool telah mencatat, betapa efektifnya komunikasi interpersonal, terutama bagi Negara-negara berkembang yang lebih tinggi tingkat frekuensinya dalam menggunakan tenaga manusia dibanding menggunakan produk teknologi canggih.
Walaupun komunikasi interpersonal terdapat kelemahan, seperti jangkauan sasaran (komunikan) terlalu luas atau karena dibatasi geo nature (letak geografis) yang sulit dijangkau, namun di sisi lain memiliki nilai lebih yaitu:
1) Pengaruh Pribadi dalam Politik
Kita telah mengenal varian dari komunikator politik, yakni politikus, profesional, dan aktivis. Dalam kategori aktivis kita berbicara tentang pemuka pendapat (opinion leader), yakni orang yang menaruh perhatian terhadap media massa, memilih pesan, dan menyampaikan informasi serta opini baik kepada teman, tetangga, maupun kawan bekerja dan lain-lain melalui percakapan tatap muka. Melalui pengaruh pribadi, para pemuka pendapat merupakan saluran yang menghubungkan jaringan massa dan komunikasi interpersonal.
Terlepas dari perannya dalam memimpin pendapat dan dalam menyebarkan informasi, sebenarnya banyak sekali pembicaraan politik yang dilakukan oleh komunikator politik mengalir terutama melalui saluran interpersonal. Inilah gelanggang terpenting bagi pembicaraan kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, tempat pembicaraan dilakukan dari mulut ke mulut, bukan kepada khalayak massa.
2) Karakteristik Percakapan Politik
Komunikasi interpersonal mengenai politik, atau komunikasi apa pun mengenai maslaah itu, adalah pertemuan terpusat. Artinya, sangat sedikit orang yang mengambil bagian, pihak-pihak saling memberi hak untuk mengakui dan menjawab dalam pertukaran itu, dan percakapan berlangsung dengan cara orang-orang bergiliran mengatakan segala sesuatu. Sifat terpusat ini menghasilkan kemampuan koorientasi, seperti pada pertandingan, dan negosiasi.
a.Koorientasi.
Penyebutan ini hanya menunjukkan bahwa orang saling bertukar pandangan tentang masalah; pertukaran itu menimbulkan serangkaian pesan dan tindakan, dan melalui urutannya para peserta serempak mengorientasikan diri terhadap obyek yang dibahas dan terhadap satu sama lain. Orientasi gabungan terhadap pesan dan peserta komunikasi interpersonal mengandung arti bahwa pesan yang dipertukarkan itu memiliki dimensi isi maupun dimensi hubungan. Isi pesan itu terdiri atas informasi tentang pokok masalah yang sedang dibahas. Dimensi hubungan membawa informasi tentang bagaimana pandangan para peserta dalam percakapan itu terhadap satu sama lain. Senyuman, kerutan dahi, nada suara, pertemuan pandangan, bahasa tubuh –semuanya merupakan tanda yang dibaca orang untuk mengetahui kesan apa yang dimiliki mereka tentang orang lain dalam percakapan itu. Bahkan diam pun bisa menjadi sebuah strategi komunikasi. Di mana mantan Presiden Megawati adalah “pelopor’-nya. Mantan Presiden Megawati yang mempelajari komunikasi presiden-presiden sebelumnya menganggap bahwa komunikasi kepresidenan Soekarno dan Abdurrahman Wahid tidak sesuai dengan iklim Indonesia yang sedang menjalani proses demokratisasi. Maka, jadilah diam itu sebagai strategi komunikasinya. Walaupun strateginya tersebut menjadikan dirinya sebagai presiden paling tidak komunikatif sepanjang sejarah kepresidenan Republik Indonesia.8 Koorientasi menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal melibatkan percakapan tentang masalah-masalah –pajak, kebijakan energi, biaya penghidupan, dan sebagainya– dan pesan-pesan yang rawan seperti bagaimana perasaan orang terhadap satu sama lain. Setiap komunikator menunjukkan apakah ia menerima, menolak, atau begitu saja mengabaikan yang lain; lebih dari itu, seseorang menyingkapkan apakah ia menerima, menolak, atau merasa apatis terhadap keterlibatan dirinya ke dalam wacana itu.
b. Percakapan sebagai Permainan
Maksud percakapan sebagai permainan di sini adalah transaksi yang di dalamnya para peserta komunikasi (1) mempunyai motif yang terbuka dan tersembunyi dan (2) dalam proses itu memperoleh imbalan atau menderita kerugian. Lyman dan Scott mengemukakan empat tipologi permainan yang sesuai untuk menjelaskan sifat-sifat yang menyerupai permainan dalam komunikasi politik interpersonal. Permainan dibedakan menurut tujuan yang dikerjar-nya. Permainan wajah, misalnya, merefleksikan upaya peserta untuk menetapkan indentifikasi masing-masing dengan cara-cara yang dihargai. Suatu permainan wajah bisa defensive; dalam permainan ini pemain berusaha melindungi suatu identitas dari ancaman.
b.Kontur saling tukar interpersonal
Beberapa hal memengaruhi makna yang diberikan orang kepada pesan-pesan yang mengalir melalui saluran-saluran interpersonal. Kita akan mengemukakan tiga dari yang terpenting, yakni:
- Prinsip Homofili
Riset mengemukakan tiga dalil yang jika digabungkan membentuk prinsip homofili dalam komunikasi; (1) Orang-orang yang mirip dan sesuai satu sama lain lebih sering berkomunikasi daripada orang-orang yang tidak serupa sifat dan pandangannya. (2) Komunikasi yang lebih efektif terjadi bila sumber dan penerima homofilitik; orang-orang yang mirip cenderung menemukan makna yang sama dan diakui bersama dalam pesan-pesan yang dipertukarkan oleh mereka. (3) Homofili dan komunikasi saling memelihara; makin banyak komunikasi di antara orang-orang, mereka makin cenderung berbagi pandangan dan melanjutkan komunikasi. Prinsip homofili terlalu menyederhanakan. (!)
Empati
Kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam titik pandang dan empati orang lain memberikan peluang kepada komunikator untuk berhasil dalam bercakap-cakap. Empati adalah suatu sifat yang sangat dekat asosiasinya dengan citra seseorang tentang diri dan tentang orang lain, dan karena itu bisa dinegosiasikan melalui media interpersonal.
Menyingkap Diri
Penyingkapan diri terjadi bila seseorang memberitahukan kepada orang lain apa yang dipikirkan, dirasakan, atau diinginkannya, itulah cara yang paling langsung untuk memperlihatkan citra diri dan identifikasi dihargai. Kondisi ini terbilang cukup langka dalam arena politik. Yang terjadi justru malah sebaliknya, yakni ajang menutup diri; strategi komunikasi yang digunakan seseorang untuk mencegah diketahui oleh orang lain, adalah kekhasan komunikasi politik interpersonal.
Sementara dampak persuasi interpersonal dan diskusi tentang pembentukan pendapat politik telah menerima banyak perhatian dari peneliti (Huckfeldt dan Sprague 1995, Beck et al 2002, MacKuen dan Brown 1987) pertanyaan yang melakukan persuasi dan jenis orang yang mereka sasaran adalah daerah yang relatif understudied komunikasi politik. Persuasive percakapan menempati ruang konseptual yang unik dalam literatur keterlibatan politik: tidak hanya itu potensi katalisator untuk perubahan pendapat, juga merupakan modus partisipasi dan peluang bagi kedua belah pihak akan menghadapi pandangan politik baru dan informasi. Faktor sosial ekonomi seperti pendapatan dan pendidikan memainkan peranan yang jauh lebih kecil dalam memprediksi persuasi yang mereka lakukan untuk bentuk-bentuk lain partisipasi, menunjukkan bahwa terlibat dalam persuasi memerlukan sumber daya sosial dan bukan dari sumber-sumber ekonomi atau pendidikan yang dibutuhkan untuk menjadi relawan atau menyumbang. Bujukan sering strategis termotivasi, dengan bujukan menargetkan mereka yang kurang partisan dan kurang tertarik pada politik. Namun, upaya persuasi juga terjadi antara mereka yang sudah sangat politis terlibat. Bukti menunjukkan bahwa persuasi adalah kedua saluran melalui mana pengetahuan politik dan pendapat ditularkan dari lebih terlibat ke kurang terlibat dan kata-kata lisan untuk mengungkap partisan untuk menentang sudut pandang.
Kesimpulan
Sedikit kesimpulan yang ditangkap oleh penulis. Bahwa saluran komunikasi politik ada 3 (tiga) jenisnya, (1) Media komunikasi massa, di mana saluran ini menekankan adanya komunikasi satu-kepada-banyak; bisa dalam bentuk komunikasi tatap muka yang dijalankan komunikator pada saat berbicara di hadapan khalayak, seperti pidato kepresidenan yang disiarkan melalui media televisi, rapat umum atau berbicara pada saat konferensi pers, (2) Komunikasi yang memiliki hubungan satu-kepada-satu atau biasa disebut komunikasi interpersonal; bisa dalam bentuk tatap muka maupun berperantara, (3) Komunikasi Organisasi, yakni menggabungkan penyampaian satu-kepada-satu dan satu-kepada-banyak.
Referensi
Riswandi, Komunikasi Politik (..Yogyakarta.., PT. Graha Ilmu, 2009) Hal 9
Dan Nimmo, Komunikasi Politik, komunikator, Pesan dan Media (Bandung, PT Rosda Karya, 1999)
Burhan Bungin, Sosiologi komunikasi(Jakarta, P.T Kencana Prenada Media Group, 2007)
http://rosit.wordpress.com/2008/12/30/varian-saluran-komunikasi-politik
http://rosit.wordpress.com/2009/12/09/media-sebagai-saluran-komunikasi-politik/
http://blogs.myspace.com/index.cfm?fuseaction=blog.view&friendId=506322310&blogId=531614939
Selasa, 04 Mei 2010
kuliah KOMUNIKASI POLITIK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahirnya pemikiran-pemikiran akal manusia terus melaju mengikuti lajunya usia planet bumi ini, sehingga manusia tidak lagi berada dalam dimensi yang sama, mereka tersebar dalam determinasi-determinasi geografis kultur, nilai, ruang dan waktu yang berada dalam kondisi seperti ini komunikasi mulai dihadapkan kepada problema yang bertambah dengan diikuti majunya saranan informasi dan tekhnologiyang emakin canggih sebagai komunikasi massa.
Opini publik sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapakan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijkan yang disebut oleh pelaku politik. Alat komunikasi politik mendeskripsikan kebijakan pemerintah untuk warga negara itu media massa dalam menyajikan informasi dapat diterima oleh khalayak banayk.
Pada dasarnya teori stimulus-respon merupakan dimana efek sebagai reaksi terhadapa stimulus tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara
Pesan-pesan media dan reaksi audience.prinsip stimulus –respon ini merupakan dasar dari teori jarum Hypodermic yang memandang bahwa sebuah pemberitahuan massa diibaratakan sebagai obat yang disuntikan kedalam pembuluh darah audience. Namun teori ini mendapat kritk, sehingga penulis mencoba memaparkan teori Kepala Batu (Obstinate Audience) sebagai kajian kritkan terhadap teori Jarum hypodermic.
PEMBAHASAN
TEORI KHALAYAK KEPALA BATU (the obstinate audience)
Khalayak Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan. Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini bahwa khalayak adalah aktif.
Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif[1]
Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif. Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif. Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif. Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya. Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media. Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.
Asumsi dasarnya: bahwa khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikai politik.
Teori ini ditandai pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu, ada kemampuan untuk menyeleksi apa saja yang berasal dari luar dan tidak direspon begitu saja.
Dengan gugrnya asumsi khalayak tidak berdaya dan media perkasa seperti yang telah disinggung diatas berkembanglah asumsi baru, bahwa khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi poltik. Bahkan, khlayak memiliki daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini para pakar Willbul Scramm dan Roberts (dalam arifin, 2003:46) mengoreksi teorinya dan megakui adanya teori baru yang dikenal dengan nama teori khlayak kepala batu (the obstinate audience).
Teori khalayak kepala batu itu dikembangkan pakar psikologi-Raymound Bauer (1973). Bahkan, telah diperkenalakan oleh I.A Richard sejak 1936, dan telah diamalkan atau diaplikasikan oleh ahli retrorika pada zaman Yunani dan Romawi 2000 tahun lalu. Roeumond mengkritik potret khalayak sebagai robot pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu memberikan keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linier tetapi merupakan transaksi.[2]
Media massa memasang pengaruh, tetapi pengaruh itu di saring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual[3] atau faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi reaksi mereka.
Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilih informasi yang mereka perlukan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi dan latar belakang budaya sosial.[4]
Perbedaan individu bahwa anak-anak cenderung lebih senang dengan tontonan atau film yang bernuansa permaianan, kartun dan cerita anak-anak, sementara perempuan lebih senag dengan sajian tontonan sinetron dan berita gosip. Perbedaan persepsi diakibatkan oleh pengalaman individu, misalnya usia dan faktor psikologis dengan jenis tayangan televisi kadang orang tua senang dengan tayangan yang serius atau drama dibandingkan anak-anak atau kaula muda yang senang sajian acara musik, sama halnya dengan menentukan media bacaan dalam surat kabar orang yang berlatar belakang pendidikan cenderung bacaan surat kabar yang banyak dengan ulasan, siaran berita, dan musik. Perbedaan sosial budaya dapat dilihat dari segi :
1. Pendidikan
2. Ekonomi
3. Etnis
4. Agama
5. Dan kedudukan dalam masyarakat
Uses and grafitation model ini dibangun denagan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang sangat rasional dan sanagat aktif, dianamis, dan selektif terhadap semua pengaruh diluara dirinya. Khalayak yang selektif akan memilih berdasarkan kegunaan dan pemenuhan kepuasan pribadinya.
Uses and grafitation sebagai pendukung teori ini dikembangkan oleh Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang Uses and Gratification Media mengatakan, bahwa kebutuhan social dan psikologis menggerakkan harapan pada media massa atau sumber lain yang membimbing pada perbedaan pola-pola terpaan media dalam menghasilkan pemuasan kebutuhan dan konsekuensi lain yang sebagian besar mungkin tidak sengaja.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens.
3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
5. Pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.
Pada dasarnya teori kahalayak kepala batu dan teori kepala batu dan Uses and Gratification serta teori lainnya dan model yang disebutkan dimuka dapat dimasukan kedalam kelompok besar perspektif atau paradigma psikologi komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan karena kegunaan atau untuk kebutuhan dirinya berdasarkan perbedaan individu, katagori sosial atau hubungan sosial, namun terpenting dalam perspektif psikologi inilah semua pesan politik itu boleh diolah secara internal pada diri individu.
Dengan demikian, setiap individu akan menyaring, menyeleksi dan mengolah secara internal semua pesan yang berda dari luar dirinya. Itulah proses psikologi yang mendasar, dan karenanya setiap individu harus memiliki daya seleksi sebagai filter konseptual.
KESIMPULAN
Teori khalayak kepala batu (the obstinate audience) adalah kritik terhadap teori jarum hypodermic atau teori peluru yang tidak percaya bahwa khalayak itu pasif, tidak mampu melawan keperkasaan media. Tokoh teori ini ialah L. A. Richard (1936), Reymound Bauer (1936), schramm & Robert (1977). Teori ini didukung oleh model Uses and Gratification (guna dan kepuasan) oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevith (1974) yng beranggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional, aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Aspek kegunaan dan kepuasan bagi diri pribadi menjadi pertimbangan dalam pilihan khlayak.
Referensi
- Sosiaologi komunikasi, prof. Dr. H.M Burhan bungin, S.Sos M.Si penerbit Prenada media Group. Jakarta 2007
- Komunikasi politik, Ardial. Penerbit Indeks. Jakarta 2005
- ADI PRAKOSA. Jakarta, Indonesia. Alumni Universitas Sebelas Maret, Dosen FISIP Universitas Nasional (blog efek komunikasi massa)
- Teori-teori komunikasi politik, by achmad sulfikar (blog playboy elite)
- http://wikipedia//teori komunikasi politik.com
- google//komunikasi indonesia//budaya politik indonesia
[1] TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
[2] Ardial, komunikasi politik 145..
[3] Filter Konseptual atau kesadaran aku dalam komunikasi politik dapat berupa keyakinanan politik, sikap politik, dan tanggapan politik. Cara kerja filter konseptual itu dapa diamati melalui masukan (input) rangsangan (output) yang berbentuk tindakan atau prilaku…
[4] Achmad Sulfikar, artikel teori khalayak…